..:: MAHASISWA FAK. BAHASA DAN SAINS S-1 PGSD UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA ::..

ShoutMix chat widget

..:: IT'S ME, CONSIDERZ ::..

Jumat, 21 Mei 2010

OTONOMI DAERAH

HAKIKAT OTONOMI DAERAH
Indonesia adalah negara ke-satuan yang berbentuk republik yang dalam pelaksanaan pemerintahannya dibagi atas daerah – daerah propinsi dan daerah propinsi dibagi atas ka- bupaten dan kota, yang tiap-tiap propinsi, kabupatan dan kota mem- punyai pemerintahan daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas daerah dan tugas pembantuan. Pemerintah daerah ber- hak menetapkan Peraturan Daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi daerah dan tugas pembantuan.

Pembahasan materi Hakikat otonomi daerah menggunakan sejumlah kata kunci yang dapat mengantarkan kalian untuk lebih mengenal berbagai istilah dalam pelaksanaan otonomi daerah .

Agar istilah-istilah tersebut dapat kalian kuasai dengan baik, kalian dapat mempelajarinya melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah dan Undang-Undang Republik Indonesia nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan daerah.

Pemerintah adalah perangkat Negara Kesatuan Re- publik Indonesia yang terdiri dari Presiden beserta para menteri.

Pemerintah daerah adalah Kepala daerah beserta perangkat daerah otonom yang lain sebagai badan eksekutif daerah. DPRD adalah Badan legislatif daerah

Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintah oleh Pemerintah kepada Daerah Otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewe nang dari pemerintah pusat kepada Gubernur sebagai Wakil Pemerintah dan/atau perangkat pusat di daerah.

Tugas Pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah kepada daerah dan desa serta dari daerah ke desa untuk melaksanakan tugas tertentu yang disertai pembiayaan, sarana, prasarana serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaannya dan mempertanggung jawabkannya kepada yang menugaskan.
Otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepen- tingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Daerah Otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indone sia.

Wilayah Administrasi adalah wilayah kerja Gubernur selaku wakil pemerintah. Instansi Vertikal adalah perangkat departemen dan/atau lembaga pemerintah non departemen di daerah.

Pejabat yang berwenang adalah pejabat pemerintah di tingkat pusat dan/atau pejabat pemerintah di daerah propinsi yang berwenang membina dan mengawasi penyelenggaraan Pemerintahan daerah

Kecamatan adalah wilayah kerja Camat sebagai perangkat daerah kabupaten dan daerah kota.

Kelurahan adalah wilayah kerja lurah sebagai perangkat daerah kabupaten dan/atau daerah kota di bawah kecamatan.

Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam system Pemerintahan Nasional dan berada di daerah kabupaten.

Desentralisasi adalah transfer (perpindahan) ke- wenangan dan tanggungjawab fungsi-fungsi publik. Transfer ini dilakukan dari pemerintah pusat ke pihak lain, baik kepada daerah bawahan, organisasi pemerintah yang semi bebas ataupun kepada sector swasta.
Selanjutnya desentralisasi dibagi menjadi empat tipe, yaitu :
1. Desentralisasi politik, yang bertujuan menyalurkan semangat demokrasi secara positif di masyarakat
2. Desentralisasi administrasi, yang memiliki tiga bentuk utama, yaitu : dekonsentrasi, delegasi dan devolusi, bertujuan agar penyelenggaraan pemerintahan dapat berjalan secara efektif dan efisien
3. Desentralisasi fiskal, bertujuan memberikan kesempatan kepada daerah untuk menggali berbagai sumber dana
4. Desentralisasi ekonomi atau pasar, bertujuan untuk lebih memberikan tanggungjawab yang berkaitan sektor publik ke sektor privat.

Pelaksanaan otonomi daerah, juga sebagai penerapan (implementasi) tuntutan globalisasi yang sudah seharus nya lebih memberdayakan daerah dengan cara diberikan kewenangan yang lebih luas, lebih nyata dan bertanggung jawab. Terutama dalam mengatur, memanfaatkan dan menggali sumber-sumber potensi yang ada di daerahnya masing-masing.

Desentralisasi merupakan simbol atau tanda adanya kepercayaan pemerintah pusat kepada daerah yang akan mengembalikan harga diri pemerintah dan masyarakat daerah.

Diberlakukannya UU No. 32 dan UU No. 33 tahun 2004, kewenangan Pemerintah didesentralisasikan ke daerah, ini mengandung makna, pemerintah pusat tidak lagi mengurus kepentingan rumah tangga daerah-daerah. Kewenangan mengurus, dan mengatur rumah tangga daerah diserahkan kepada masyarakat di daerah. Pemerintah pusat hanya berperan sebagai supervisor,pemantau, pengawas dan penilai.

Visi otonomi daerah dapat dirumuskan dalam tigaruang lingkup utama, yaitu Politik, Ekonomi serta Sosial dan Budaya.

Di bidang politik, pelaksanaan otonomi harus dipahami sebagai proses untuk membuka ruang bagi lahirnya kepala pemerintahan daerah yang dipilih secara demokratis, memungkinkan berlangsungnya penyelenggaraan pemerintahan yang responsif terhadap kepentingan masyarakat luas, dan memelihara suatu mekanisme pengambilan keputusan yang taat pada asas pertanggungjawaban publik. Gejala yang muncul dewasa ini partisipasi masyarkat begitu besar dalam pemilihan Kepala daerah, baik propinsi, kabupaten maupun kota. Hal ini bisa dibuktikan dari membanjirnya calon calon Kepala daerah dalam setiap pemilihan Kepala daerah baik di tingkat propinsi maupun kabupaten atau kota.

Di bidang ekonomi, otonomi daerah di satu pihak harus menjamin lancarnya pelaksanaan kebijakan ekonomi nasional di daerah, dan di pihak lain terbukanya peluang bagi pemerintah daerah mengembangkan kebijakan regional dan lokal untuk mengoptimalkan pendayagunaan potensi ekonomi di daerahnya. Dalam konteks ini, otonomi daerah akan memungkinkan lahirnya berbagai prakarsa pemerintah daerah untuk menawarkan fasilitas investasi, memudahkan proses perizinan usaha, dan membangun berbagai infrastruktur yang menunjang perputaran ekonomi di daerahnya. Dengan demikian otonomi daerah akan membawa masyarakat ke tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi dari waktu ke waktu.

Di bidang sosial budaya, otonomi daerah harus dikelola sebaik mungkin demi menciptakan harmoni sosial, dan pada saat yang sama, juga memelihara nilai- nilai local yang dipandang kondusif terhadap kemampuan masyarakat dalam merespon dinamika kehidupan di sekitarnya.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan, bahwa konsep otonomi daerah mengandung makna :
1. Penyerahan sebanyak mungkin kewenangan pemerintahan dalam hubungan domestic kepada daerah, kecuali untuk bidang keuangan dan moneter, politik luar negeri, peradilan, pertahanan, keagamaan, serta beberapa kebijakan pemerintah pusat yang bersifat strategis nasional.
2. Penguatan peran DPRD dalam pemilihan dan penetapan kepala daerah; menilai keberhasilan atau kegagalan kepemimpinan kepala daerah.
3. Pembangunan tradisi politik yang lebih sesuai denga kultur (budaya) setempat demi menjamin tampilnya kepemimpinan pemerintahan yang berkualifikasi tinggi dengan tingkat akseptabilitas (kepercayaan) yang tinggi.
4. Peningkatan efektifitas fungsi-fungsi pelayanan eksekutif melalui pembenahan organisasi dan institusi yang dimiliki agar lebih sesuai dengan ruang lingkup kewenangan yang telah didesentralisasikan.
5. Peningkatan efeisiensi administrasi keuangan daerah serta pengaturan yang lebih jelas atas sumber-sumber pendapatan negara.
6. Perwujudan desentralisasi fiskal melalui pembesaran alokasi subsidi pusat yang bersifat block grant.
7. Pembinaan dan pemberdayaan lembaga-lembaga dan nilai-nilai lokal yang bersifat kondusif terhadap upaya memelihara harmoni social.


TUJUAN OTONOMI DAERAH

Tujuan utama dikeluarkannya kebijakan otonomi daerah antara lain adalah membebaskan pemerintah pusat dari beban-beban yang tidak perlu dalam
menangani urusan daerah . Dengan demikian pusat berkesempatan mempelajari, memahami, merespon berbagai kecenderungan global dan mengambil manfaat daripadanya. Pada saat yang sama pemerintah pusat diharapkan lebih mampu berkonsentrasi pada perumusan kebijakan makro (luas atau yang bersifat umum dan mendasar) nasional yang bersifat strategis. Di lain pihak, dengan desentralisasi daerah akan mengalami proses pemberdayaan yang optimal. Kemampuan prakarsa dan kreativitas pemerintah daerah akan terpacu, sehingga kemampuannya dalam mengatasi berbagai masalah yang terjadi di daerah akan semakin kuat.

Adapun tujuan pemberian otonomi kepada daerah adalah sebagai berikut:
1. Peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik.
2. Pengembangan kehidupan demokrasi.
3. Keadilan.
4. Pemerataan.
5. Pemeliharaan hubungan yang serasi antara Pusat dan daerah serta antar daerah dalam rangka keutuhan NKRI.
6. Mendorong untuk memberdayakan masyarakat.
7. Menumbuhkan prakarsa dan kreativitas, meningkat- kan peran serta masyarakat, mengembangkan peran dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat daerah.














ASAS – ASAS DAN PRINSIP-PRINSIP PEMERINTAHAN DAERAH
Sebelum diuraikan lebih lanjut tentang asas-asas pemerintahan daerah, silahkan cermati terlebih dahulu bagan di bawah ini !

SKEMA PELAKSANAAN PEMERINTAHAN DAERAH


















Bagan tersebut merupakan aturan tentang peme- rintahan daerah yang dimuat pada pasal 18 UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945. Dari bagan di atas dapat kita sarikan sebagai berikut.
1. Adanya pembagian daerah otonom yang bersifat ber- jenjang, Provinsi dan Kabupaten/ Kota;
2. daerah otonom mengatur dan mengurus urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pem- bantuan;
3. Secara eksplisit tidak disinggung mengenai asas dekon- sentrasi;
4. Pemerintah daerah otonom memiliki DPRD yang anggota-anggotanya dipilih secara demokratis;
5. Kepala daerah dipilih secara demokratis;
6. Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luas- nya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang- undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah.

Bagian ini kita akan membicarakan tentang asas-asas yang digunakan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Namun sebelum itu, ada baiknya kalian pahami dulu beberapaistilah yang berkaitan dengan system pemerintahan daerah, yaitu antara lain pemerintahan daerah, pemerintah daerah, otonomi daerah, dan daerah otonom.
Pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pemerintah daerah adalah Gubernur (untuk provinsi), Bupati (untuk kabupaten), Walikota (untuk Kota) dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hokum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam system Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Setelah kalian mengetahui arti beberapa istilah di atas, mari kita bahas asas-asas apa yang digunakandalam penyelenggaraan pemerintahan daerah ? Dalam pasal 18 ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 ditegaskan bahwa “pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan”. Dengan demikian terdapat dua asas yang digunakan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yaitu asas otonomi dan tugas pembantuan. Asas otonomi dalam ketentuan tersebut memiliki makna bahwa pelaksanaan urusan pemerintahan oleh daerah dapat diselenggarakan secara langsung oleh pemerintahan daerah itu sendiri. Sedangkan asas tugas pembantuan dimaksudkan bahwa pelaksanaan urusan pemerintahan tersebut dapat dilaksanakan melalui penugasan oleh pemerintah provinsi ke pemerintah kabupaten/kota dan desa atau penugasan dari pemerintah kabupaten/kota ke desa (Penjelasan UU Republik Indonesia No.32 Tahun 2004).

Berdasarkan uraian diatas, asas otonomi sering disebut asas desentralisasi.
Apa yang dimaksud desentralisasi? Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah (Pusat) kepada daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia (UU No.32 Tahun 2004).
Perlu kalian ingat, bahwa sekalipun daerah diberi keleluasaan untuk mengatur
dan mengurus urusan pemerintahannya sendiri, tetapi tetap berada dalam bingkai dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Artinya, pemerintah daerah berkewajiban untuk patuh dan menghormati kewenangan yang dimiliki Pemerintah Pusat.

Kewenangan otonomi luas adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup kewenangan semua bidang pemerintahan, kecuali: kewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter, dan fiskal, agama serta kewenangan di bidang lainnya yang akan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah, termasuk kewenangan yang utuh dalam hal perencanaan, pelaksanaa, pengawasan, pengendalian dan evaluasi


Asas yang kedua adalah tugas pembantuan yaitu penu- gasan dari Pemerintah (Pusat) kepada daerah dan/atau desa,dan dari pemerintah provinsi kepada kabupaten /kota dan/atau desa serta dari pemerintah kabupaten/kota ke- pada desa untuk melaksanakan tugas tertentu. Jadi urusan pemerintahan dalam tugas pembantuan bukan meru- pakan atas inisiatif dan prakarsa sendiri tetapi merupakan penugasan dari pemerintah yang ada di atasnya.

Untuk mewujudkan cita-cita dan tujuan diberikannya otonomi daerah, pemerintahan daerah dituntut lebih kreatif dan inisiatif menggali dan memanfaatkan segenap potensi daerah untuk mencapai kemajuan dan kesejahteraan masyarakat di daerah. Oleh karena itu, dalam UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 ditegaskan, bahwa pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan (UUD 1945 pasal 18 ayat (6).
Adapun prinsip Penyelenggaraan Pemerintahan daerah
adalah sebagai berikut :
1. Digunakannya asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan;
2. Penyelenggaraan asas desntralisasi secara utuh dan bulat yang dilaksanakan di daerah Kabupaten dan daerah Kota,
3. Asas tugas pembantuan yang dapat dilaksanakan di daerah Propinsi, daerah Kabupaten; daerah Kota, dan Desa

BENTUK – BENTUK DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH
Walaupun terdapat beraneka ragam dalam system desentralisasi dengan karakteristik yang berbeda, namun pada dasarnya ada 4 pola : pattern field administration and local government system yang dapat diidentifikasi sebagai berikut
a. Comprehensine local government system
Dalam system ini, sebagian besar urusan pemerintah pada tingkat daerah diserahkan kepada dan dikelola sebenarnya oleh pemerintah daerah, baik urusan itu termasuk otonomi daerah maupun kewenangan daerah, dengan kemungkinan ditunjang oleh pemerintah pusat. Pemerintah daerah melaksanakan beberapa fungsi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta melaksanakan fungsi lainnya yang memberikan pelayanan langsung jepada masyarakat atas nama departemen atau pemerintah pusat. Negara – Negara didunia yang menerapkan system ini adalah India, Pakistan, Sudan, dan Uni Arab Republik


b. Partnership Local Government System
Dalam system ini beberapa fungsi tertentu yang memberikan pelayanan langsung kepada masyarakat dilakukan oleh unitpelaksana kantor pusat, dan urusan pelayanan lainnya dilakukan oleh pemerintah daerah. Pemerintah daerah melaksanakan fungsi-fungsi tersebut sedikit banyak lebih bersifat mandiri (autonomously) sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mendasari serat dapat melakukan beberapa tugas lainnya atas nama dan dibawah supervise tekhnik darai departeman pusat. Jadi, dalam system ini unsur-unsur pemerintah tertentu atau pemerintah daerah, tergantung pada kebutuhan dan situasi. Contoh negar-negara yang melakukan system ini adalah Srilanka, kawasan Negara-negara yang bebahasa inggris di Afrika, Nigeria barat dan sebagainya.

c. Dual System of Local Government
Dalam system ini departemen pusat secara langsung melakukan tugas-tugas pemerintah daerah, dan tidak membentuk atau menunjuk unit pelaksana. Sedangkan pemerintah daerah, menurut perundang-undang mempunyai kewenangan melakukan tugas-tugas otonominya, adan melekukan hal-hal yang dapat mendorong perkembangan daerah. Namun, dalam prakteknya sedikit sekali yang dapat dilakukan oleh pemerintah daerah, sebab dalam system ini terjadi konflik dan overlopping tugas-tugas antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Yang menonjol dalam system ini adalah pemerintah daerah lebih berperan sebagai alat political decentralization daripada sebagai alat peningkatan pembangunan social ekonomi. Hal ini berakibat pemerintah daerah tidak dapat dengan leluasa menyelenggarakan urusan rumah tangganya untuk memacu pembangunan secara komprehensif multidimensional. Pemerintah daerah hanya diperlukan untuk mempercepat proses pencapaian tujuan pemerintah pusat secara sepihak.sistem seperti ini umumnya diterapkan di Amerika Latin.

d. Integrated administrative system
Didalam system ini, semua badan-badan pemerintah pusat langsung melakukan fungsi-fungsi pelayanan kepada masyarakat, diman central government area coordinators atau semacam kepala wilayah bertanggung jawab untuk bertindak sebagai koordinator bagi unit-unit pelaksana termasuk technical ageneres dari pemerintah daerah. Demikian, peranan pemerintah daerah relative sangat kecil untuk mengontrol kegiatan pemerintah dan staf diwilayahnya, karena semua kegiatan pemerintah berada diwilayah koordinasi coordinator wilayah. System seperti ini sangat rawan untuk terjadi pergolokan daerah atau separatisme karena daerah menjadi semakin tidak berdaya dan kehilanagan wibawa. System seperti ini telah diterapkan di Negara-negara Asia tenggara dan timur tengah.

PERTUMBUHAN PEMERINTAH DAERAH DI INDONESIA
Ide untuk memisahkan sesuatu bagian tertentu dai fungsi pemerintahan Negara atau Daerah untuk dipercayakan penyelenggaraannya kepada suatu organ yang yang lebih dikenal dengan desentralisasi sesungguhnya bukan ide baru. Dimana desentralisasi sebagai suatu system yang dipakai dalam bidang pemerintahan merupakan kebalikan dari sentralisasi.
Lebih dari itu system desentralisasi, sebagian dari kewenangan pemerintah pusat dilimpahkan kepada pihak lain (daerah) untuk dilaksanakan. Dari makna atau tujuan yang terkandung tersebut secara implicit nampak bahwa adanya suatu pengakuan secara prisioil tentang kedudukan serta fungsi daerah dalam wilayah NKRI.
Disanping itu, meski daerah merupakan cakupan suatu kesatuan sebagai suatu state. Secara esensial, nilai-nilai adapt istiadat, tata hokum, tradisi, norma dan pranata, social daerah yang sangat beraneka ragam tersebut, merupakan suatu faktor yang sangat penting untuk dijaddikan bahan pertimbangan untuk memberikan hak-hak otonomi kepada suatu daerah. Hal ini sesuai dengan yang telah dijelaskan dalam penjelasan UUD 1945. Dengan demikian, sebagai titik dasar atau grass roote-nya didalam otonomi daerah yang dianut dalam penyelenggaraan pemerintah Negara kita adalah aktualisasi dari kontruksi system pemerintahan yang telah ditetapkan dalam UUD 1945.
Berangkat dari latar diatas, kajian mengenai pertumbuhan otonomi daerah di Indonesia merupakan suatu aspek yang sangat penting untuk kita cermati didalam upaya mencari sebuah format ideal dalam mengimplementasikan konstruksi pemerintahan yang diharapkan dalam UUD 1945 (pasal 18) tersebut. Sekaligus yang akhir-akhir ini masih tetap menjadi pembicaraan intelektual Akademi maupun para praktisi dalam berbagai forum, rapat kerja, diskusi dan seminar tentang otonomi daerah.
Untuk lebih memudahkan kita dalam mempelajari system-sistem pemerintahan daerah (sebagai proses pertumbuhan ekonomi itu sendiri). Terlebih dahulu perlu untuk kita simak sedikit beberapa peraturan-peraturan pemerintahan daerah yang berlaku di Indonesia dan sebagai perbandingan kinerjanya akan bermanfaat hendaknya apabila didahului pula dengan pembahasan selintas kilas tentang Pemerintah Daerah di Indonesia sebelum Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.
a) Masa Sebelum Kemerdekaan Indonesia yang meliputi
a. Tata pemerintahan daerah berdasarkan Regerings Reglement (RR) tahun 1984
Dimana pada masa ini yaitu pada tahun 1984 ketika state General (parlemen kerajaan Belanda) menetapkan Regerings Regeling (RR) semacam UUD sekarang ini.
Meka system pemerintahan jajahan di Indonesia berdasarkan RR tersebut bersifat sentralis. Akan tetapi dalam perjalanannya seiring dengan semakin luas wilayah jajahannya, maka urusan pemerintahan yang berpusat di Bogor dan dipegang oleh Gubernur Jendral pada waktu itu. Sistim sentralistis ini dinilai semakin memberatkan tugas dan tanggung jawab pemerintah pusat. Untuk itu timbul keinginan untuk melaksanakan pembagian tugas (yang kurang penting) kepada alat-alat pemerintahan daerah.
Dari dasar pemikiran itulah, maka pada tahun 1893 untuk pertama kalinya RUU desentralisasi diajukan oleh Menteri Van Dedem kepada Twede Kamer dari State General. Sehingga pada tahun 1903 usaha lanjut, atas usul menteri Idenburg, berhasil merubah pasal 68 RR tanggal 23 Juli 1903. (stastblad 1903 no. 329 Decentralisatiewed) yang memungkinkan untuk diadakan Dewan Perwakilan Rakyat Lokal ( Local RAAD). Diman DPR local tersebut diberi hak untuk mengatur dan mengurus rumah tangga wilayahnya masing-masing.
Akan tetapi kemudian ternyata desentralisasi yang berdasarkan Decentralisatiewed 1903 tidak memuaskan. Maka denga UU tanggal 6 Februari 1922 ( Stastblad 1922 No. 216 tentang wet of de Bestuurshervorming)
Dari berbagai undang-undang tersebut diatas (kecuali UU terbaru yaitu UU No.2/1999) ternyata UU No. 5/1974 dapat bertahan lebih dari 20 tahun. Akan tetapi masih cukup banyak ketentuan-ketentuan dari UU ini yang belum ditinjaklanjuti baik berupa UU, PP, atau Peratuaran Perundang-undangan yang lain. Masih terdapat 17 ketentuan dari 41 ketentuan yang belum ditindaklanjuti. Diantara ketentuan-ketentuan tersebut, ada ketentuan-ketentuan yang sangat strategis dan mempunyai dampak yang sangat besar dalam penyelenggaraan pemerintah di daerah.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat tabel di bawah ini
Daftar Peraturan Pelaksanaan UU No. 5/1974
Yang belum ditindak lanjuti dan yang sudah ditindaklanjuti
No Pasal Ayat Tindak Lanjut Macam Peraturan Keterangan
1 4 3 B PP Perub Batas Ganti Nama Dae
2 6 S UU Ibukota RI-DKI (UU 11/1991)
3 8 1 B PP Penyerahan Urusan
4 9 B Perat Per.UU Set RI Penarkan Urusan
5 10 2 S Perat Per-UU Set Dewan Pertimb Ot Da
6 11 2 S PP Titik Berat Ot Da pada DT II (PP No. 45/1992)
7 12 1 S Perat Per-UUa Medebewindn
8 15 3 B Permendagri Pilih KD I
9 16 3 S Permendagri Pilih KD II
10 18 5 S PP Pengambilan Sumpah Janji KD
11 19 S PP Kedudukan,keu,hak Kepeg KD

No Pasal Ayat Tindak Lanjut Macam Peraturan Keterangan
12 22 4 S Kepmendagri Keter. Pertanggunag jawaban
13 24 9 S Kepmendagri Calon Wagub
14 26 S Permendagri Pejabat Wakli KD/WKD
15 27 B UU Susun Keangg.pimp. Sumpah DPRD
16 28 3 S Kepmendagri Kddk keu ketua/wkl/angg DPRD
17 29 2 S Kepmendagri Tatib DPRD
18 29 3 B UU Hak Angket
19 33 2 B UU Tindak Kepolisian thd angg DPRD
20 36 2 S Kepmendagri Sek Wan
21 27 6 S Permendagri Pemilihan Sek W
22 46 3 B Permendagri Ba. Pertimb. Daerah
23 48 4 S Kepmendagri Syarat tata cara pelaks. Pengangkatan sekwida I,II
24 54 B Perat per UUan Pembinaan Peg Neg Diperbantungan
25 56 B UU Penyerahan Pajak Negara kpd Daerah
26 57 B UU Hub.keu.pst.dae
27 58 S UU Pajak dae dan retry (UU 18/1997)
28 59 B UU Perus dae
No Pasal Ayat Tindak Lanjut Macam Peraturan Keterangan
29 64 8 S Permendagri Penyusunan APBD
30 64 9 S Permendagri Penyusunan APBD
31 71 6 S Permendagri Pengawasan Umum

32 72 4 B PP Kota admininstratif
33 75 B PP Pembentukan, hapus,batas, sebutan ibukota wilayah
34 79 2 S Permendagri Angkot,berhenti, kawil,kotif, kawil kec
35 84 2 S Permendagri Set wil
36 85 2 S PP Koordinasi Instansi Vertikal
37 86 2 B PP Pal.Pamong Praja
38 86 3 B Kepmendagri Pal.Pamong Praja
39 88 S UU Pemerintah Desa
40 89 B PP Orgs. Hub. Kerja pe-angkat pem di daerah
41 90 S Kepmendagri Org. pemda+Wil

Disatu sisi, kalau kita cermati lebih teliti dari ketentuan peraturan tentang pemerintahan daerah dalam melaksanakan otoda, hanya ditandai dengan pelimpahan tugas/kewenangan saja tanpa disrtai penyerahan sumber pembiayaan sebagai akibat dari pelaksanaan pelimpahan tugas. Baik yang bersifat menimbulkan sumber pendapat. Terlebih-lebih yang bersifat mengeluarkan biaya. Sehingga suasana ketergantungan daerah terhadap pusat tetap tinggi.
Selain itu perbedaan pemahaman, orientasi maupun bentuk yang tergantung dalam setiap peraturan diatas tentang pemerintahan daerah dalam melaksanakan otonomi daerah telah menimbulkan perbedaan pula anggapan/penilaian yang bertendensi negative baik dari pusat kepada daerah yakni pemerintah daerah masih belum siap untuk melaksanakannya, terutama tentang keterbatasan SDM-nya. Maupun anggapan negative dari daerah bahwa pemerintah pusat masih setengah hati dan takut kehilangan kewenagannya, yang mana semua anggapan tersebut pada hakekatnya kurang bisa diterima.
Sebab tujuan dari pelaksanaan otonomi daerah itu sendiri sebagai suatau usaha untuk melakukan pembangunan daerah secara efektif-efisien serta tepat guna dalam mensukseskan pembangunan nasional
Meski demikian, karena perangkat pemerintah di daerah secara prinsipadalah bagian bagian dari mekanisme pemerintahan nasional, maka beberapa asoek structural pemerintahan daerah masih perlu ditempatlkan dibawah kendali pusat. Hal ini dimaksudkan agar dimasa depan jangan sampai karena dinamika masyarakat yang bergerak ada daerah tanpa kendali yang mengarah pada sparatisme (disintegrasi).
Satu hal yang perlu juga untuk digaris bawahi dalam mengkaji perkembanagn pelaksanaan otoda adlah sebagaimana amanat yang telah ditegaskan oleh bapak presiden pada upacara peresmian pemantapan daerah percontohan otonomi. Daerah tingkat II, tanggal 25 April 1995 di istana Negara, bahwa dalam penyelenggaraan otonomi daerah, sasaran ingin kita capai dimasa depan bukanlah keseragaman. Sebab keseragaman diseluruh hal yang bersifat nasional sudah tertampung dan melekat pada bentuk Negara kesatuan itu sendiri. Sehingga pusat perhatian dalam otoda adalah pada aspek efektif, efisiensi, dan keserasian jalannya pemerintahan dengan kondisi social ekonomi serta social budaya daerah yang bersangkutan. Ini berarti tetap membuka peluang perbedaan dan variasi. Contohnya antara daerah TK II yang bersifat Agraris seperti jawa, Sumatra dengan daerah tingkat II yang bersifat maritime seperti maluku.
Masalah lain yang perlu dicermati dalam perkembangan pelaksanaan otoda adalah perlunya ditegaskan antara desentralisasi dan otonomi. Sebab secara konsep teoritis keduanya memiliki perbedaan makna namun dalam prakteknya bersifat tumpang tindih serta dalam banyak hal, desentralisasi dan otonomi adalah kata yang saling ditukarkan.
Sehubungan dengan hal tersebut maka pengertian desentralisasi disini diartikan sebagai prinsip pendelegasian wewenang dari pusat kebagian-bagiannya. Baik yang bersifat kewilayahan maupun kefungsian. Prinsip ini mengacu kepada fakta adalah Span Of Control dari setiap orang atau sehingga organisasi perlu diselenggarakan secara bersama-sama.
Sedangkan menurut Sarundjajang (1999) lebih lanjut membagi desentralisasi menjadi 4 bagian yaitu :
• Desentralisasi menyeluruh (Comprehensive local government system)
• System kemitraan (partnership system)
• System ganda ( Dual system )
• System administrasi terpasdu (Integrated administrative system)
Adapun mengenai pengertian otonomi itu sendiri berasal dari bahasa Yunani yaitu autos = sendiri nomos = perintah. Sehingga otonomi dapat bermakna memerintah sendiri . dalam wacan administrasi public daerah otonom sering disebut sebagai local government. Daerah otonom praktis berbeda dengan daerah Saja yang merupakan penerapan dari kebijakan yang dalam wacana administrasi public disebut sebagai local state government
Untuk itu yang perlu di lakukan dalam hal ini adalah menyamakan konsep otonomi itu dibenak masing-masing dari pihak terkait. Ini perlu agar otonomi tidak bernuansa bahwa itu hanya hal ikhwal dari dalam departemen negeri semata
Dimana kesepakatan yang dimaksud disini adalah kesepakatan tentang pembagian peran - fungsi - tanggung jawab dari pemerintah sebagai pemegang kendali kebijakan nasional(policy), pemerintah propinsi sebagai Pembina dan pemantau (consultating)sedangkan pemerintah daerah(kota/kabupaten) sebagai pelaksana di lapangan.
Dari beberapa permasalahan dan alternative upaya penyalesaian yang kooperatif tersebut mampu melahirkan konsepsi tenteng otoda yang berakhir dengan pelaksanaan otonomi seperti yang diharapkan serta senafas dengan amanahyang di gariskan oleh UUD 1945

DIMENSI NASIONALISME DALAM KONTEKSS OTONOMI DAERAH

NASIONALISME DAN NASIONALISME INDONESIA
Suatu bangsa (nation) tidak lahir mendadak atau begitu saja tetapi melalui perjuangan yang panjang dan penuh pengorbanaan. Bahkan Ernest Renan(1970)menyatakan bahwa “The nation like individual is the outcome of a long efforts, and sacrifices, and develotion” suatu bangsa halnya seorang individu timbul dari perjuangan panjang melalui banyak pengorbanaan dan pengbdian. Oleh karena itu seharusnyalah generasi penerus perjuangan bangsa selalu mengingat dan menghargai serta mementapkan terus menerus hasil-hasil perjuanga para pendahulunya. Mereka adalah pahlawan dan bangsa yang besaradalh bangsa yang menghargai para pahlawannya.
Sejarah perkembangan nasionalisme modern mula-mula muncul di Eropa Barat dan Amerika Utara padaabd 18. selanjutnya faham ini tumbuh dan berkembang ke seluruh Benua Eropa pada abad ke 19 dan berjalan terus lebih mantappada abad ke20 sampai sekarang. Pada abad ke20 itulah paham nasionalisme menjalardan meluas ke wilayah-wilayah AAA: Asia,Afrika dan Amerika Latin serta mengalami proses yang cepat dan mendalam. Dengan lahirnya nasionalisme yang memantapkan diri dari waktu-ke waktumaka timbullah negara bangsa(nation-state) di mana-mana
Apabila diperhatikan secaramendalam tumbuh dan berkembangnya nasionalisme modern, pada dasarnya disebabkan dari dmpak negetif dari struktur social tradisionsl yang berakar pada ikatan promodial dengan nilai-nilai konservatif chauvinistic serta cenderung menjadikan ketertutupan negara. Disamping itu nasionalisme yang chauvinistic telah menimbulkan berbagai masalah dan peper angan antar bangsa yang menghasilkan kesengsaraan bagi bangsa yang di takhlukan.
Lahir dan berkembangnya nasionalisme Indonesia sebagaimana di Eropa pada umumnya dipelopori oleh kalangn terpelajar dan para ilmuwan, apabila kita tengok kebelakang nasionalisme Indonesia maka tedapat tonggak-tonggak sejarah yang harus diperhatikan yaitu lahirnya perkumpulan-perkumpulan atau organisasi-organisasi modern yang bermunculan pada awal abd 20 antara lain;
• BUDI UTOMO (1908)
• PASUNDAN (1914)
• SAREKAT SUMATRA (1918)
• JONG JAVA (1918)
• SAREKAT AMBON (1920)
• TOMORC VERBOND (1921)
• KAUM BETAWI (1923)
Disamping organisasi-orsanisasi/perkumpulan-perkumpulanyang bersifat etnis dan dan kedaerahan muncul pula organisasi-organisasi keagamaan missal Sarekat Islam (SI) pada tahun 1911, kemudian disusul organisasi-organisasi keagamaan yang lain, Dalam hal ini SI dapat dikatakan sebagai organisasi di Indonesia yang secara ideologis dan sosiologis menyiapkan wadah serta menampung dan merangkul sebanyakmungkin penduduk di bumi nusantara (Indonesia).
Perkembangan nasionalisme Indonesia sebagai ideologi yang mempersatukan seluruh bangsa Indonesia tidak dapat dilepaskan dari “Indische Vereniging” yaitu perkumpulan sejumlah mahasiswa di negeri belanda (1908) yang kemudian berubah menjadi perhimpunan Indonesia (PI) pada tahun 1925 dan menerbitkan majalah dengan nama yang berani “Indonesia Merdeka”
Pokok-pokok pikiran PI tersebut adalah sebagai berikut:
1. perlunya mengesampingkan pebedaan-perbedaan sempit dan kedaerahan serta membentuk kesatuan nasional
2. perlunya menggalang sesama orang Indonesia, guna mempertajam perbedaan antara bangsa Indonesia dengan bangsa Belanda.
3. bahwa kemerdekaan bangsa Indonesia bukanlah hadiah sukarela dari bangsa Belanda melainkan sesuatu yang harus direbut dari Belanda
4. menegakkan asas swadaya atau mengandalkan kekuatan sendiri dalam kehidupan nasional, social, politik, ekonomi dan hokum yang kuat berakar pada masyarakat pribumi dan sejajar dengan adinistrasi colonial.
Pengaruh gerakan nasionalisme msuk ke tanah air dengan gencar dan timbulah usaha-usaha bersama untuk mencari landasan filsafat dan idiologi bangsa. Melalui perdebatan panjang dan sering kali sengit lahirlah PANCASILA pada tahun 1945 yang di sepakati bersama dan menjadi dasar negara kesatuan negara republic Indonesia yang diproklamirkan pada pada tanggal 17 austus 1945. namun demikian perjuangan untuk mementapkan nasionalisme (integrasi bangsa) melalui “nation building” harus terus menerus dilaksanakan. Apabila kalau di ingat akhir-akhir ini dengan kedok “reformasi” timbul berbegei gejolak tututan dan harapan yang sulit dikendalikan dan dapat mengarah kepada pendangkalan nasionalisme serta disintegresi bangsa. Keadaan demikian merupakan isyarat penting yang harusdiwaspadai khususnya peristiwa-peristiwa di berbagai daerah. Untuk itu segera harus diperhatikan bahwa otonomi daerah seluas apapun bukan berarti membentuk negera sendiri dan memisahkan dari negara dan bangsa Indonesia.

DEMOKRASI DEMOKRATISASI

Demokrasi dan demokratisasi bukanlah dua hal yang sama tetapi merupakan dua bagian dari sisi mata uang yang sama. Disatu pihak terdapat sifat-sifat yang menjadi dasar dan di lain pihak merupakan proses perubahan dan pengembangan yang di kehendaki bersama untuk mencapai tujuan dan sasaran yang menjadi tutuntan bersama. Dalam prose situ terjadi perjalanan terus-menerus merupakan dinamika demokrasi dan tidak pula jarang timbul pasang-surut silih berganti.
Konsep demokrasi mengandung makna yang sangat luas dan berbagai pihak dapat mengisinya melalui banyak dimensi. Dalam pelaksanaannya juga beraneka ragam melipputi berbagai kehidupan dan penghidupan manusia sebagai mahluk “ZOON POLITICON”. Namun demikian semua negara dan pemerintah menganggap dirinya demokratis dan tidak mau disebut “outhoritarian” dan “dictator” walaupun prakteknya tidak demokratis.
Apabila kita telusuri ke belakang maka ingatan pada jiwa dan semangat demokrasi tertuju pada revolusi prancis (1789) yang berlandaskan kepada: liberte, egalite dan fraternitedengan semangat yang tak kunjung padam: dari ,oleh dan untukkita(kepentingan bersama). Kalaau dikatakan dengan pemerintahan maka berarti pemerintahan rakyat namun dalam kenyataan tidak sederhana yang diperkirakan didalam pemerintahan ituterdapat lembaga-lembaga dan aparaturnya sehingga proses pemerintahan berjalan demokratis atau tidak sangat tergantung pada penyelenggaranya.
Seperti yang dikemukakan oleh Robert Dahl (19710 demokrasi yang di istilahkan dengan ”polyarchy” berkaitan dengan system pemerintahan yang harus memenuhi tiga persyaratan yaitu:
1. adanya kompetisi yang luas dan bermaknadi antara individu-individu dan kelompok-kelompok terutama partai-partai politikuntuk menduduki posisi tertentu dalam pemerintahan dan menjalankannya.
2. adanya tingkat partisipasi politik yang tinggi yang melibatkan masyarakat untuk memilih para pemimpin dan “policy maker” (dalam kebijakan public) melalui pemilihan umum yang dilakukan secara bebas dan berkala.
3. adanya tingkat kebebasan sipil dan kehidupan politik yang memungkinkan kebebasan menyatakan pendapat, kebebasan pers dan kebebasan berserikat.
Dengan demikian maka demokrasi bukanlah sekedar system politik dengan syarat-syaratpartai politik yang melembaga (institutionalized parties) sebagai mana dikemukakan Seymor Marti Lipset (1993) tetapi seharusnya ada dan melembaga serta berfunsi dalam “masyarakat madani” (acfungtioning civil society) oleh karena itu harus tumbuh dan berkembang melalui demokrasi yang sehat dalam negara-negara dan dibina terus-menerus. Dalam pemerintahan yang demikan terdapat pegangan yang kuat tentang hak dan kewajiban kewarganegaraan serta kepastian untuk berperan serta dalam kehidupan negara dan pemerintahan. Dalam hal ini O’Donnel dan Schmittter (1986) menyatakan bahwa “democracy’s guiding principle is that citizenship”
Apabila demokrasi dikaitkan dengan kebebasan maka perlu diwaspadai bersama: bermasyarakat, berbangsa dan bernegara tidak ada kebebasan tanpa batas. Semua sikap, perilaku dan perbuatan terikat oleh aspek normatipuntuk membina keamanan, ketertiban dan ketentraman . di mana saja dan kapan saja unsure normatip dalam demokrasi tidak dapat dihilangkan. Sehubungan denggan itu ada baiknya diperhatikan pendapat seorang ahli hukum Michael novak (1985) yang mmenyatakan bahwa syarat tercapainya demokrasi yaitu kebebasan berserikatsistem peradilan yang bebas dan mandiri, pengakuan atas hak milik pribadi (property right), adanya regim hukum dimana negara tidak intervensi dan melanggar hal-hal yang menyangkut martabat manusia (humam dignity) system pemilihan umum yang ‘fair’, serikat buruh yang bebas, keberadaan partai-partai politik oposisi yang loyal dan pemerintahan berdasarkan hukum(rule of law)
Perlu diperhatikan bahwa persyaratan tersebuttidak mudah dipenuhi oleh negara-negara berkembang dan baru merdeka seperti halnyya Indonesia. Namun demikian demokrasi dan demokratisasi itu harus ditanamkan dan dipupuk terus-menerus, makin tumbuh dan berkembang dalam kehidupan dan penghidupan kita. Untuk itu dalam proses demokratisasi dibina terus dan berkesinambungan ”budaya demokrasi” yang bersifat “learned behavior” bukan semata-mata instinctive”. Media untuk menanamkan nilai-nilai demokrasi itu antara lain: lingkup keluarga dankelompok besar maupun kecil, lingkungan pendidikan formal dan informal, lingkungan kerja,organisasi-organisasi dan perkumpulan-perkumpulan serta media massa.
Apabila sosialisasi demokrasi itu berhasil melalui berbagai saluran tersebut maka kehidupan masyarakat yang demokratis akan terbentuk dan menjadi tiang penyangga pmerintahan yang demokratis. Dengan demikian maka timbulah tradisi demokrasi untuk menciptakan”masyarakat madani” atau masyarakat utama yang kita dambakan bersama.

PARADIGA DEMOKRASI
Paradigma merupakan pintu mental yang digunakan oleh sesorang untuk memperhatikan dan memikirkan segala sesuatu disekitarnya. Pada umumnya apa yang kita amati dan perhatikan dalam dunia social (termasuk demokrasi) adalah yang secara obyektif ada dan ditafsirkan melalui konsep, asumsi dan makna yang kita anut. Oleh karena itu suatu paradigma tidak semata-mata rasional-obyektip tetapi mengandung pula nilai-nilai yang subyektip sifatnya. Demikian juga pemikirantentang demokrasi dan pelaksanaannya apabila melalui paradigma yang berbeda maka akan berbeda pula hasilnya. Namun demikian perbedaan itulah yang pada hakekatnya menjadi tiang penyangga demokrasi
Dengan paradigma demokrasi yang berlainan itu pulalah di Indonesia pernah menerapkan model-model demokrasi yang tidak sama dalam periode-periode waktu tertentu.secara garis besar di Indonesia pernah berlaku tiga model demokrasi yaitu: demokrasi liberal, demokrasi terpimpin dan demokrasi pancasila.
“Model Demokrasi Liberal”berlaku sejak tanggal 3 november 1945 yaitu dengan diterapkannya system multi partai berdasarkan maklumat pemerintah No.X. system “terlalu banyak” partai itu ternyata menimbulkan keadaan tidak stabildalam pemerintahan dan kerawanan keamanan bahkan pemberontakan yang mengancam kehidupan negara. Demokrasi yang demikian juga di kenal dengan “demokrasi parlementer” yang berlaku berdasarkan UUD 1945 periode pertama, konstitusi republic Indonesia serikat (RIS) dan UUDS 1950. keadaan pemerintahan jatuh bangun melalui cabinet yang silih berganti dan dampaknya kepentingan rakyat dan pembangunan terbengkalai. Demikian juga demokratisi jasi macet dengan cirri-cirinya yang menonjol sebagai berikut:
• Timbul berbagai tuntuntan yang subdtansi dan frekuensinya meningkat terus yang di salurkan melalui partai politik. Karena kemampuan lembaga-lembaga pemerintahan yang sangat terbatas sebagai negara baru maka dampak nya timbul rasa tidak puas yang menjalar kemana-mana kesegala bidang.
• Tuntutan terhadap hak asasi manusia(HAM) dan berbagai aliran politik yang menimbulkan idiologi berbeda merebak terus sehingga menimbulkan perbedaan yang sangat tajam dan meruncing.
• Kemampuan pemerintah (cabinet ) untuk mengeploitasi kekayaan alam masih sangat terbatas dan orientasinya pada kepintangan kelompok terlalu menonjol.
• Pols hubungsn peternalistik menjadi acuan sehingga timbul hubungan antar elite dan massa berdasarkan pola politik aliran.
• Integrasi horizontal sulit dicapai dan sangat banyak terjadi adalah disintegrasi baik di tingkat elit maupun massa.
• Gaya poliitik terlalu bersikukuh pada idiologi sehingga menimbulkan pertaentangan yang berkepanjangan.
• Pola kepemimpinan paternalistic dan berorientasi pada ikatan primordial berdampak sangat negatip untuk pembinaan kesatuan dan persatuan bangsa bahkan ada kecenderungan menimbulkan negra dalam negara.
Kemudian berdasarkann dekrit presiden tanggal 5 juli 1959 maka konstituante dibubarkan, UUDS 1950 dinyatakan tidak berlaku dan kembali diberlakukan UUD 1945. saying sekali dengan label “demokrasi terpimpin” praktek-praktek pemerintahan mengarah pada tirani sehingga jati diri punah.
Dalam periode demokrasi terpimpin ini berbagai ciriyang menonjol antara lain sebagai berikut;
• Berbagai tutuntan dari berbagai daerah dan kelompok serta organisasi tetap meningkatt tetapi semuanya tergantung pada pemerintah. Apa saja yang dinyatakan pemerintah harus dianggap benar dan tidak boleh berbeda pendapat. Memilih alternatip lain datau membuat interpensi lain.
• Mobilisasi kekuatan melalui “front nesional” dan penenman idiologi melalui indoktrinasi. Konflik idiologi dapat diredam tetapi situasinya seperti api dalam sekam yang sewaktu-waktu dapat meledak.
• Pemerintah lebih menekankan kapabilitas simbolik berupa “nation building” dan cederung tidak memperhatikan masalah mendesak yang segera diatasi khususnya dibidang ekonomi. Malahan menciptakan system ekonomi terpimpin yang menjurus kearah ‘etetisme’ dan menimbulkan kesengsaraan.
• Ikatan primodial dalam kehidupan politik dapat dikurangi tetapi pola hubungan “patron-client” hidup subur.
• Integrasi nasional dibina melalui “ front nasional” untuk menghadapi masalah dan tantangan baik dari dalam maupun luar negeri. Namun timbul kelompok-kelompok elit tersingkir yang menghimpun massa demi kepentingannya.
• Gaya politik masih bersifat idiologik walupun sudah di batasi menjadi NASAKOM (NASIONAL, AGAMA DAN KOMUNIS) kompetisi antar ketiganya sangat menggejala dan pimpinan pengusaha sangat berusaha untuk menyeimbangkannya tetapi pad akhirnya gagal.
• Kepempinan politik tidak berdasar kapabilitas ddan aksep tabilitas tetapi mendasarkan pada karismatik dan paternalistic yang berpusat pada pimpinan revolusi.
• Tingkat stebilitas relatip baik tetapi tidak di arahkan pada pembangunan ekonomi.




Sebagaimana kita ketahui besama puncak dari kekeliruan demo krasi terpimpin adalah timbulnya pemberontakan G 30 S/PKI yang berhasil ditumpas kemudian lahirlah orde baru dengan label “demokrasi pancasila” yang pada awalnya bertakad untuk melaksanakan pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen tetapi yang terjadi malahan penyimpangan dan merabaknya KKN serta sentralisasi dalam bernagai bidang. Sebagai puncak kegagalan orde baru timbullah gerakan Reformasi.
Sebagai gerakan yang menumbangkan pemerintahan orde baru diusahakan pemerintahan yang bersih, demokratis, penghargaan terhadap hak asasi manusia, supremasi hukum keterbukaan dan tanggung jawab namun demikian sampi saat ini masih dalam tahap awal dan harus di uji lebih lanjut dalam perjalanan kehidupan bangsa, negara dan pemerintahan.
Perlu disadari bersama bahwa pada hakekatnya kita masih mencari format yang pas untuk demokrasi Pancasila. Berhasil atau tidaknya menemukan model yang tepat merupakan tantangan untuk seluruh bangsa indoesia. Namun demikian satu hal yang harus selalu di ingat bahwa pejalanan “das sein das solen” akan terus berlanjut dan tidak boleh mengorbankan nasionalisme, dan demokrasi dalam wadah negara kesatuan republic Indonesia.


KEBIJAKSANAAN PEMERINTAH DAERAH DALAM ERA INFORMASI GLOBALISASI DAN REFORMASI

Apabila diterapkan masalah system maka pemerintah daerah dapat dianggatp sebagai system terbuka. System terbuka merupakan system yang secara terus-menerus berinteraksi dengan lingkungannya “steady state” atau keseimbangan dinamis selama ada kapasitas kerja atau transfrmasi dan aarus keluar” (kast dan rosenzweig, 1982) setiap system kehidupan harus bersedia menerima masukan demi kelangsungan kehidupan dan juga dinamika kehidupannya.
Demikian juga organisasi pemerintah daerah seharusnya menerima masukan-masukan atau input berupa informasi-informasi kemudian mengolah dan mentransfer menjadi output/atau keputusan yang lebih lanjut akan dilaksanakan. Proses ini sebenarnya merupakan sebuah proses dalam manajemen pada umumnya termasuk manajemen pemerintah daerah.
Zaman ini merupakan zaman informasi (The information age) yang mengharuskan setiap organisasi terlibat dalam arus informasi. Lebih-lebih dengan adnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teeknologi dewasa ini penyampaian informasi menjadi sangat canggih, demikian juga penerimaannya.
Pemerintah darah dalam interaksinya dengan “internal-publik” dan “external-publik” mendapatkan infomasi-informasi yang sangat bermanfaat demi keberadaan dan perkembangannya. Jangkauan interaksi yang sangat luas pula wawasan manajemen pemerintahan dan pembangunannya. Dilain pihak pemerintah daerah juga harus bersedia memmberikan informasi keluar tentang kebijaksanaan dan prestasi yang di capai serta potensi yang dimiliki. Oleh karena itu seyogyanya manajemen pemerintah daerah adalah manajemaen terbuka tetapi bukan manajemen telanjang. Dengan demikain pada hakekatnya pemerintah telah telibat dalam globalisasi dalam interaksinya dengan pihak lain.
Globalisasi yang melanda hubungan internasional menyangkut berbagai bidang kehidupan dan penghidupan di berbagai negara. Dampaknya banyak menyangkut banyak aspek: ekonomi, perdangan, kebudayaan dan sebagainya. Pemerintah daerah tidak bias tinggal diam untuk menenggapi dan menyiapkan antisipasinya.
Indonesia semenjak orde baru yang lebih terbuka dari pada sebelumnya dampak globalisasi ini sangat terasa khusus nya dalam bidang kebudayaan dan ekonomi.
Ekonomi Indonesia bersifat terbuka dalam arti pentingnya peran yang di mainkan oleh sector yang berkaitan langsung dengan ekonomi bangsa-bangsa lain, seperti hubungan perdagangan barang dan jasa, pinjam meminjam, penanaman modal, kerjasama teknik, struktur produksi dan ekspor serta system moneter dan anggaran yang berlaku dalam perekonomian juga ikut menyebabkan keterbukaan ekonomi nasional tersebut.
Implikasi dari ekonomi Indonesia yang bersifat terbuka sudah tentu akan mempunyai dampak pembangunan di berbagai daerah. Masuknya para investor melalui kebijaksanaan modal asing (PMA) maupun peneneman modal dalam negeri (PMDN) serta kebijaksanaan yang lain memerlukan manajemen yang responsip dalam pemerintahan daerah, sarana dan prasarana untuk menari para investor sangat diperlukan guna memanfaatkan potensi daerah.
Dalam hubungan ini pemerintsh mskin diharapkan makin memainkan peran sebagai fasilitator, pemberi dorongan dan bimbingan kepada dunia usaha. Kebijaksanaan deregulasi dan debirokratisasi dilanjutkan. Mendorong prakarsa. Kreatifitas dan partisipasi masyarakat. Dalam posisi situasi yang demikian pemerintah daerah seharusnyalah memerinci peran membina kemampuannya. Konsep yang demikian sebenarnya merupakan “Reniventing Government” (Osborne, Gaebler, 1992).
Manajemen partisipatif diperlukan sehingga timbul inisiatif dan kreatifitas dari berbagai kalangan. Pihak-pihak yang terkait langsung dan perdagangan misalnya kamar dagang dan industri dari daerah (KADINDA) mesti berperan serta. Di samping itu juga organisasi-organisasi, asosiasi serta kelompok-kelompok yang potensial dalam perdagangan mendpatkan peran sesuai dengan potensinya.
Kebiasaan “cadong dawoh” atau menunggu instruksi dalam manajemen pemerintahan dan pembangunan pasti tidak sesuai dengan kondisi sekarang pengambilan keputusan yang cepat dan tepat yang dari “ management strategic” akan terasa manfaatnya untuk kini dan yang akan datang, resiko akan selalu ada tetapi yang pentig adalah “minimized-risk dan maximized out-out”.

MODEL ALTERNATIF HUBUNGAN PUSAT-DERAH

Lahirnya paradigma baru di bidang pemerintahan dan pembangunan, (mau tidak mau, suka tidak suka) mengharuskan kebanyakan negara berkembang memakai system pemerintahan yang demokretis jika ia(mereka) tak ingin digilas oleh perkembangan zaman.
Pemerintah yang demokratis yang menempatkan demokratisasi sebagai roh, ditandai dengan adanya supremasi hukum, penghargaan akan HAM dan penempatan moral dan etika sebagai panglima. Manifestasi dari itu semua adlah keharusan akan adnya desentralisasi dalam berbagai macam kegiatan pemerintah. Yang salah satunya adalah adanya otonomi daerah:

Filosofi otonomi daerah itu meliputi;
 Semua persoalan daerah akan diselasaikan di tingkat local
 Daerah berembang sesuai dengan prakarsanya ssendiri
 Sifat dan cirri lokalitas sangat dihargai dan dipertimbangkan
 Partisipasi masyarakat berkembang secara dinamis dan
 Adanya pembagian tugas yang jelas dan tegas antara pemerintah pusat dan daerah dan antara eksekutif dan legislative untuk pengembangan daerah dan kesejahteraan masyarakat yang dapat dipertanggung jawabkan secara hukum administrative, social dan moral
Mengingat variasi daerah sangat beragm dan dinamika derah yang juga bervariasi maka kewenangan setiap daerah akan sangat di tentukan oleh obyekyang di urus, subyek yang mengurus dan kemampuan pendanaan oleh daerah yang bersangkutan.

BK = F (S, O, B )

BK = besarnya kewenangan

S =subyek yang mengurus secara professional

0 = obyek yang diurus

B =biaya atau dana

Kewenangan yang di maksud dapt berupa kewenangan kebijakan, suportif 9memberi dukungan) melakukan kerja sama maupun kerjasama maupun kewenangan yang bersifat operasional.





























Di dalam merespon jenis, jumlah dan “kadar kualitas” kewenangan tersubut dikenal adanya model yang statisda dinamis




Model alternative ini muncul sebagai akibat dari berbagai pertimbangan di bawah ini:
1. perkembangan menuju ke arah mewujudkan konsep good-governance tidak bertentangan dengan arah pemikiran atas cita-cita mulia RI dan selaras dengan penyelenggaraan pemerintahan di tingkat mana pun . sebagai upaya yang sunguh-sunguh dari kalangan akademisi dan sebagai entri point agar konsep good-governance mendapat respon positif seyogyanya menjiwai dan harus bias di drive dalam kaitan hubungan pusat-daerah .
2. sejarah perkembangan pemerintahan di Indonesia telah mebuktikan kuatnya tarik ulur sentralissi-desentralisasi, zero sume game atau win and lose, kemenangan satu pihak sama dengankekalahan yang lain; bahkan lebih dari itu telah menyeret kalangan akademisi dengan keterpihakannya dalam satu kubu, model alternative ini seyogyanyamemikirkan kembali untuk memahamkan semua pihak bahwa konsep good-governance adalah critical point untuk menghindari terulangnya tarik ulur itu, yang secara dikotomis bukan merupakan winwin solution.
3. rancang bangun hubungan pusat daerah, jikka bersepakat dengan konsep maka pemikiran intrgovermental relations (Tonnen, 1987), slnyplit model 9fried, 1978) non-hierachy (pennings, 1981) Regine theory (1992) memiliki implikasi bahwa masing masing tingkat pemerintahan tidak kehilangan kesempatan kesempatan untuk melakukan persepakatan bersama ata hubungan rancangan pembangunan tersebut, dengan demikian maka terjadi redefinisi atas konsep desentralisasi, (penyerahan) dan sentralisasi/dekonsentralisasi (pelimpahan) yang selama ini di yakini berubah menjadi kesepakatan-kesepakatan
4. dapat dipahami rancang bangun memerlkan energi yang cukup besar dan lebih bnyak menyita waktu, hal ini disebabkan oleh kehatihetian kita atas upaya untuk mengurangi pengeruh lama(baca: dikotomi sentralisasi/desentralisasi sebagai gambaran munculnya nomor 5 tahun 1974 memerlukan waktu sedikitnya 8 tahun. Enerji yang tersebar mudari upaya mewujudkan persepakatan-perngkin kita dapat duga sepakatan itu tanpa rekayasa. Persepakatan terbesar adalah pada arena kewenangan/urusan.
5. hal-hal lain yang berkaitan dengan UU seyogyanya di design dalam lingkup yang tumpang tindih. Di sadari bahwa UU itu adalah milik negara dan bukan milik sector atau arena tertentu.. kerumitan itu bias timbul karena tidak adanya koordinasi penyusunan UU sehingga UU bias jadi dapat bertentangan dengan UU yang lain. Pokok permasalahan ini seyogyanya mendapat perhatian dari pembuat UU.

Komentar :

ada 0 komentar ke “OTONOMI DAERAH”

Posting Komentar

Web Counter
Web Counter Counter
 
AVENGED SEVENFOLD
AVENGED SEVENFOLD
AVENGED SEVENFOLD
This Blog is proudly powered by Blogger.com | Template by Angga Leo Putra