..:: MAHASISWA FAK. BAHASA DAN SAINS S-1 PGSD UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA ::..

ShoutMix chat widget

..:: IT'S ME, CONSIDERZ ::..

Jumat, 21 Mei 2010

PENGENDALIAN PERUBAHAN PENDUDUK

Penduduk adalah orang dalam matranya sebagai diri pribadi, anggota keluarga, anggota masyarakat, warga negara, dan himpunan kuantitas yang bertempat tinggal di suatu tempat dalam batas wilayah negara pada waktu tertentu. Sedangkan Kependudukan adalah hal ihwal yang ber¬kaitan dengan jumtah, ciri utama, per¬tumbuhan, persebaran, mobilitas, penyebaran, kualitas, kondisi, kesejahteraan yang menyangkut potitik, ekonomi, sosial, budaya, agama, serta lingkungan penduduk tersebut.

Penduduk sangat berkaitan erat dengan pembangunan suatu bangsa. Tidak berbeda dengan di Indonesia. Penduduk merupakan potensi sumber daya manusia dan merupakan modal dasar bagi pembangunan nasional. Dalam rangka pem¬bangunan sumberdaya manusia pada umumnya, sehingga lebih menunjang pelaksanaan pem¬bangunan yang berkelanjutan, perkembangan kependudukan perlu dikelola dengan teren¬cana, haik kuantitas, kualitas, maupun mabilitasnya secara berdaya guna dan berhasil guna. Pengelolaan Perkembangan Kependudukan adalah upaya penyelenggaraan kegiatan yang berkaitan dengan pengkajian, pe¬rencanaan, pelaksanaan, pemantauan, penyuluhan, pengendalian, dan evaluasi masalah perkembangan kependudukan.

Pengelolaan perkembangan kependudukan ditujukan pada terwujudnya keserasian, keselarasan, dan keseimbangan antara kuantitas, kualitas, dan persebaran penduduk dengan lingkungan hidup guna menunjang pelaksanaan pembangunan nasional yang berkelanjutan. Pemerinlah menetapkan jumlah, struktur, dan komposisi penduduk. Penelapan jumlah, struktur, dan komposisi penduduk didasarkan pada pendataan penduduk yang dilakukan secara berkala dan terpadu, baik tingkat pusat maupun daerah. Pendataan penduduk sebagaimana dimaksud meliputi kelahiran, kematian, usia, jenis kelamin, susunan, perpindahan, persebaran, penghidupan, kehidupan sosial, ekonomi, budaya penduduk, dan dilaksana¬kan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.


Pengelolaan perkembangan kependudukan diwujudkan melalui pengendalian kuantitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, dan pengarahan mobilitas penduduk, serta diselenggarakan secara menyeluruh dan terpadu oleh pemerintah bersama-sama masyarakat.

Sepaerti telah dijelaskan diatas, pengendalian perubahan penduduk dapt dilakukan dengan cara pengelolaan perkembangan penduduk, antara lain :


A. PENGENDALIAN KUANTITAS PENDUDUK
Pengendalian kuantitas penduduk diarahkan pada terwujudnya keserasian, keselarasan, dan keseimbangan antara kuantitas penduduk dengan daya dukung dan daya tampung lingkungan dan kondisi perkernbangan sosial ekonomi dan sosial budaya. Dalam rangka pengendalian kuantitas penduduk. Pemerintah bersama-sama rnasyarakat menyelenggarakan upaya penurunan angka kernatian, penurunan angka kelahiran, dan pengarahan mobilitas penduduk.

 Penurunan angka kematian diselenggarakan rnelalui penurunan angka kematian bayi dan anak di bawah 5 tahun, serta mernper¬panjang usia harapan hidup rata-rata. Dalam rangka penurunan angka kematian, Menteri dan Menteri lain yang terkait di bidang kependudukan' menetapkan ke. bijaksanaan upaya peningkatan kualitas hidup dan kualitas lingkungan sesuai dengan tugas dan tanggung jawab masing-masing seeara terpadu berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang ber¬laku.
Kebijaksanaan upaya peningkatan kualitas hidup dan kualitas lingkungan meliputi hal-hal yang berkaitan dengan peningkatan:
a. upaya kesehatan, meliputi peningkatan kualitas pelayanan kesehatan, peningkalan gizi, nutrisi, peneegahan ataupun pengobatan penyakit;
b. kualitas kondisi ekonomi,pendidikan, sosial-politik. dan sosial-budaya masyarakat;
c. kualitas penghasilan dan pendapatankeluarga;
d. kualitas individu atau keluarga yang berkaitan dengan tradisi, norma, produktivitas dan perilaku kehidupan;
e. kualitas lingkungan hidup, baik alam, buatan, maupun sosial
 Penurunan angka kelahiran ditujukan untuk mewujudkan kondisi penduduk tumbuh seimbang menuju kondisi penduduk tanpa pertumbuhan. Penurunan angka kelahiran dilaksanakan melalui upaya:
a. pembudayaan norma keluarga keeil bahagia sejahtera, yang meliputi upaya meningkatkan kesadaran dan mendorong untuk melakukan:
1) pemakaian alat kontrasepsi;
2) pendewasaan usia perkawinan;
3) penundaan kelahiran anak pertama;
4) pemakaian air susu ibu yang optimal;
5) penjarangan jarak kelahiran;

b. peningkatan pendidikan dan peran wanita;
c. upaya lain yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden.

B. PENGEMBANGAN KUALITAS PENDUDUK
Pengembangan kualitas penduduk dilakukan melalui upaya peningkatan nilai-nilai keagamaan, pendidikan, kesehatan, ekonomi, sosial-budaya, mental-spiritual, dan peningkatan usaha ke¬sejahteraan lainnya. Pengembangan kualitas penduduk sebagaimana dimaksud meliputi pengembangan kualitas diri pribadi, keluarga, masyarakat, warga neg'ara dan himpunan kuantitas secara menyeluruh dan terpadu yang diselenggarakan oleh Pemerintah, masyarakat dan keluarga. Dalam upaya mendukung pengembangan kualitas penduduk, Pemerintah bersama-sama masyarakat menyelenggarakan pembinaan dan pelayanan penduduk.
(1) pembinaan dan pelayanan penduduk dalam rangka pengembangan kualitas penduduk dilakukan melalui komunikasi, informasi, dan edukasi, termasuk penyediaan sarana, prasarana dan jasa.
(2) Khusus bagi masyarakat rentan, selain cara dan bentuk pembinaan dan pelayanan juga dapat diberikan kemudahan-kemudahan sesuai dengan jenis hambatan yang perlu diatasinya.


C. PENGARAHAN MOBILITAS PENDUDUK
Pengarahan mobilitas penduduk ditujukan untuk:
a. mengembangkan kualitas sumber daya manusia; .
b. menciptakan keserasian, keselarasan, dlan keseimbangan daya dukung dan daya tampung lingkungan;
c. mengendalikan kuantitas penduduk di suatu daerah/wilayah tenentu;
d. mengembangkan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru;
e. memperluas kesempatan kerja produktif;
f. meningkatkan ketahanan nasional.

(1) Pengarahan mobilitas penduduk di¬selenggarakan dengan upaya peningkatan kepedulian dan peran sena masyarakat dalam rangka mewujudkan persebaran penduduk yang optimal yang didasarkan pada ke¬ seimbangan antara jumlah penduduk dengan daya dukung dan daya tampung lingkungan.
(2) pengarahan mobilitas penduduk dilaksana¬kan melalui peningkatan nilai-nilai keagamaan, pendidikan, kesehatan, ekonomi, sosial¬ budaya, mental-spiritual.

Pengarahan mobilitas penduduk dilaksanakan dengan memperhatikan faktor-faktor, antara lain:
a. konsentrasi penduduk suatu daerah/wilayah;
b. jumlah penduduk di daerah potensial;
c. keseimbangan antara kuantitas dan kualitas penduduk dengan daya dukung dan daya tampung lingkungan.


INFORMASI PERKEMBANGAN KEPENDUDUKAN


Untuk mendukung upaya pengendalian kuantitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, dan pengarahan mobilitas penduduk yang serasi, selaras, dan seimbang dengan lingkungan hidup, dikembangkan sistem informasi perkembangan kependudukan dan keluarga. Sistem informasi perkembangan kependudukan dan keluarga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, diselenggarakan oleh Menteri secara ter¬koordinasi antar lintas sektor yang terkait baik tingkat pusat ataupun daerah.

Sistem Informasi perkembangan kependudukan dan keluarga diselenggarakan melalui upaya :

a. pengumpulan dan pengolahan data kuantitas, kualitas dan persebaran/mobilitas penduduk serta kemampuan daya dukung dan daya tampung lingkungan baik tingkat pusat ataupun daerah;
b. penyebaran dan penyajian informasi mengenai keadaan perkembangan ke¬pendudukan dan keluarga serta kondisi kemampuan daya dukung dan daya tampung lingkungan suatu daerah atau wilayah;
c. pengembangan jaringan sistem informasi secara terpadu antar lintas sektor;
d. pengembangan sistem administrasi, pen¬catatan, dan statistik kependudukan dan keluarga termasuk registrasi penduduk.


PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN

Untuk mendukung pengelolaan per¬kembangan kependudukan dilakukan upaya penelitian dan pengembangan. Upaya penelitian dan pengembangan sebagaimana me¬liputi penelitian dan pengembangan yang berkaitan dengan pengendalian kuantitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, pengarahan mobilitas penduduk dan pembinaan serta pengembangan sistem informasi kependudukan. Upaya penelitian dan pengembangan di¬lakukan oleh pusat-pusat penelitian, lembaga swadaya dan organisasi masyarakat, dan berdasarkan ketentuan peraturan perundang¬undangan yang berlaku.




PERAN SERTA MASYARAKAT

Pemerintah mewujudkan peluang dan men¬dorong keikutsertaan yang seluas-Iuasnya bagi masyarakat untuk ikut berperan serta dalam pengelolaan perkembangan kependudukan. Peluang dan dorongan untuk meningkatkan keikutsertaan masyarakat dalam pe¬nyelenggaraan pengelolaan perkembangan kependudukan meliputi kegiatan:
a. memberi informasi dan pendidikan yang berkaitan dengan pengelolaan per¬kembangan kependudukan;
b. membantu kelancaran penyelenggaraan pengelolaan perkembangan kependudukan;
c. memberi/menyediakan sarana dan prasarana bagi peningkatan kualitas penduduk.

Peran serta masyarakat diselenggarakan melalui leinbaga swadaya dan organisasi ke¬masyarakatan, pihak swasta dan perorangan secara sukarela dan mandiri sesuai dengan kemampuan masing-masing. Peran serta masyarakat dapat berupa penyediaan tenaga, sarana, prasarana, danl atau bentuk lainnya. Pembinaan pengelolaan perkembangan kependudukan dilakukan oleh Menteri dan Pimpinan Instansi Pemerintah yang terkait secara terkoordinasi, terpadu dan berkelanjutan.

Pembinaan sebagaimana dimaksud meliputi pembinaan terhadap:
a. kualitas sumber daya manusia dan pelayanan;
b. pemerataan pelayanan yang berkaitan dengan pengelolaan perkembangan kependudukan;
c. koordinasi dan keterpaduan program pe¬ngelolaan perkembangan kependudukan;
d. koordinasi pengembangan jaringan informasi kependudukan dan keluarga, administrasi, pencatatan, statistik kependudukan dan keluarga serta perencanaan kependudukan sektoral dan regional;
e. peran serta masyarakal;
f. penelilian dan pengembangan kua/ilas pen dud uk, kuanlilas penduduk, mobililas penduduk dan lingkungannya; dan
g. kegialan lain yang berkaitan dengan pengelolaan perkembangan kependudukan.


Pembinaan dapat dilakukan dengan:
a. bimbingan dan penyuluhan;
b. pemberian bantuan tenaga, keahlian, atau bentuk lain;
c. pembeian penghargaan;
d. pendidikan kependudukan;
e. pendidikan perkeinbangan kependudukan
f. cara pembinaan lainnya.

Cara lain untuk mengendalikan perubahan penduduk yaitu dengan mengikuti program KB. Agar kehidupan berkeluarga dapt seimbang. Untuk mewujudkan penduduk tumbuh seimbang dan keluarga berkualitas, Pemerintah menetapkan kebijakan keluarga berencana melalui penyelenggaraan program keluarga berencana. Kebijakan keluarga berencana sebagaimana dilaksanakan untuk membantu calon atau pasangan suami istri dalam mengambil keputusan dan mewujudkan hak reproduksi secara bertanggung jawab tentang:
a. usia ideal perkawinan;
b. usia ideal untuk melahirkan;
c. jumlah ideal anak;
d. jarak ideal kelahiran anak; dan
e. penyuluhan kesehatan reproduksi.
Kebijakan keluarga berencana bertujuan untuk:
a. mengatur kehamilan yang diinginkan;
b. menjaga kesehatan dan menurunkan angka kematian ibu, bayi dan anak;
c. meningkatkan akses dan kualitas informasi, pendidikan, konseling, dan pelayanan keluarga berencana dan kesehatan reproduksi;
d. meningkatkan partisipasi dan kesertaan pria dalam praktek keluarga berencana; dan
e. mempromosikan penyusuan bayi sebagai upaya untuk menjarangkan jarak kehamilan.
Kebijakan keluarga berencana mengandung pengertian bahwa dengan alasan apapun promosi aborsi sebagai pengaturan kehamilan dilarang.

Kebijakan keluarga berencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dilakukan melalui upaya:
a. peningkatan keterpaduan dan peran serta masyarakat;
b. pembinaan keluarga; dan
c. pengaturan kehamilan dengan memperhatikan agama, kondisi perkembangan sosial ekonomi dan budaya, serta tata nilai yang hidup dalam masyarakat.
Pemerintah dan pemerintah daerah wajib meningkatkan akses dan kualitas informasi, pendidikan, konseling, dan pelayanan kontrasepsi dengan cara:
a. menyediakan metode kontrasepsi sesuai dengan pilihan pasangan suami istri dengan mempertimbangkan usia, paritas, jumlah anak, kondisi kesehatan, dan norma agama;
b. menyeimbangkan kebutuhan laki-laki dan perempuan;
c. menyediakan informasi yang lengkap, akurat, dan mudah diperoleh tentang efek samping, komplikasi, dan kegagalan kontrasepsi, termasuk manfaatnya dalam pencegahan penyebaran virus penyebab penyakit penurunan daya tahan tubuh dan infeksi menular karena hubungan seksual;
d. meningkatkan keamanan, keterjangkauan, jaminan kerahasiaan, serta ketersediaan alat, obat dan cara kontrasepsi yang bermutu tinggi;
e. meningkatkan kualitas sumber daya manusia petugas keluarga berencana;
f. menyediakan pelayanan ulang dan penanganan efek samping dan komplikasi pemakaian alat kontrasepsi;
g. menyediakan pelayanan kesehatan reproduksi esensial di tingkat primer dan komprehensif pada tingkat rujukan;
h. melakukan promosi pentingnya air susu ibu serta menyusui secara ekslusif untuk mencegah kehamilan 6 (enam) bulan pasca kelahiran, meningkatkan derajat kesehatan ibu, bayi dan anak; dan
i. melalui pemberian informasi tentang pencegahan terjadinya ketidakmampuan pasangan untuk mempunyai anak setelah 12 (dua belas) bulan tanpa menggunakan alat pengaturan kehamilan bagi pasangan suamiisteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai akses, kualitas, informasi, pendidikan, konseling dan pelayanan alat kontrasepsi diatur dengan peraturan menteri yang bertanggung jawab di bidang kesehatan. Pelayanan kontrasepsi diselenggarakan dengan tata cara yang berdaya guna dan berhasil guna serta diterima dan dilaksanakan secara bertanggung jawab oleh pasangan suami isteri sesuai dengan pilihan dan mempertimbangkan kondisi kesehatan suami atau isteri. Pelayanan kontrasepsi secara paksa kepada siapa pun dan dalam bentuk apa pun bertentangan dengan hak asasi manusia dan pelakunya akan dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Penyelenggaraan pelayanan kontrasepsi dilakukan dengan cara yang dapat dipertanggungjawabkan dari segi agama, norma budaya, etika, serta segi kesehatan.

DIMENSI KEPENDUDUKAN DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL

Seperti penjelasan sebelumnya, bahwa hubungan antara penduduk dengan pembangunan sangatlah erat kaitannya. Pengendalian Perubahan penduduk dapat juga dilakukan dengan cara pembangunan kependudukan dan pembangunan nasional.

Dimensi kependudukan dalam pembangunan nasional dapat dilihat dalam dua sisi, yaitu: (1) bagaimana mengintegrasikan aspek kependudukan dalam perencanaan pembangunan nasional dan (2) pembangunan kependudukan itu sendiri. Sisi pertama merupakan penjabaran dari pembangunan berwawasan kependudukan merujuk pada konsep agar perencanaan pembangunan (baca pembangunan ekonomi) harus memeperhatikan dinamika kependudukan yang ada. Sisi kedua merujuk pada bagaimana membangun penduduk itu sendiri agar dapat menjadi pelaku-pelaku pemabngunan yang andal. Dalam hal ini bagaimana mengendalikan pertumbuhan penduduk, mengarahkan mobilitas penduduk, meningkatkan kualitas penduduk dan didukung dengan sistem informasi kependudukan yang andal.
Ada beberapa alasan yang melandasi pemeikiran bahwa kependudukan merupakan isu yang sangat strategis dalam kerangka pembangunan nasional, antara lain adalah:
Pertama, kependudukan, atau dalam hal ini adalah penduduk, merupkan pusat dari seluruh kebijakan dan program pembangunan yang dilakukan. Dalam GBHN dengan jelas dikemukakan bahwa penduduk adalah subyek dan obyek pembangunan. Sebagai subyek pembangunan maka penduduk harus dibina dan dikembangkan sehingga mampu menjadi penggerak pembangunan. Sebaliknya, pembangunan juga harus dapat dinikmati oleh penduduk yang bersangkutan. Dengan demikian jelas bahwa pembangunan harus dapat berpartisipasi aktif dalam dinamika pembangunan tersebut. Sebaliknya, pemabngunan tersebut baru dapat dikatakan berhasil jika mampu meningkatkan kesejahteraan penduduk dalam arti yang luas.
Kedua, keadaan atau kondisi keendudukan yang ada sangat mempengaruhi dinamika pembangunan yang sedang dilaksanakan oleh pemerintah. Jumlah penduduk yang besar jika diikuti dengan kualitas penduduk yang memadai, akan merupakan pendorong bagi pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya jumlah penduduk yang besar jika diikuti dengan tingkat kualitas yang rendah, menjadikan penduduk tersebut hanya sebagai beban bagi pemabngunan nasional. Iskandar (1974) memperkirakan bahwa tanpa adanya program pengendalian pertumbuhan penduduk maka jumlah penduduk Indonesia pada tahun 1995 akan berjumlah 237 juta jiwa. Kenyataannya jumlah penduduk pada tahun tersebut adalah sekitar 194 juta jiwa. Dengan demikian program pengendalian pertumbuhan penduduk telah berhasil melakukan ‘saving’ untuk bebagai pengeluaran bagi sekitar 43 juta jiwa penduduk Indonesia. Pengeluaran tersebut dialihkan kepada program lain yang bermanfaat untuk peningkatan kualitas penduduk seperti kesehatan dan pendidikan.
Ketiga, dampak perubahan dinamika kependudukan baru akan terasa dalam jangka yang panjang. Karena dampaknya baru terasa dalam jangka waktu yang panjang tersebut, seringkali peran penting penduduk dalam pembangunan terabaikan. Sebagai contoh, beberapa ahli kesehatan memeperkirakan bahwa krisis ekonomi dewasa ini akan memberikan dampak negatif terhadap kesehatan seseorang pada 25 tahun kedepan atau satu generasi. Dengan demikian, dapat dibayangkan bagaimana kondisi sumber daya manusia Indonesia pada generasi mendatang, 25 tahun setelah tahun 1997. demikian pula, hasil program keluarga berencana yang dikembangkan selama 30 tahun yang lalu (1968), baru dapat dinikmati dalam beberapa tahun terakhir ini. Dengan demikian, tidak diindahkannya dimensi kependudukan dalam kerangka pembangunan nasional sama artinya dengan ‘ Menyengsarakan’ generasi berikutnya.
Bagaimana dengan kondisi di Indonesia?. Jargon pemabangunan berwawasan kependudukan sudah lama didengar dalam bentuk atau format lain. Sudah lama didengung-dengungkan mengenai penduduk sebagai sunyek dan obyek pembangunan. Atau jargon mengenai pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. Atau pembangunan bagi segenap rakyat. Konsep “pembangunan manusia seutuhnya”, yang tidak lain adalah konsep “pembangunan kependudukan”, mulai diterapkan dalam perencanaan pembangunan Indonesia yang sistematis dan terarah sejak Repelita I pada tahun 1969. namun sedemikian jauh, walaupun pada tataran kebijakan telah secara sungguh-sungguh mengembangkan konsep pembangunan yang berwawasan kependudukan, pemerintah nanmpaknya belum dapat secara optimal mengimplementasikan dan mengintegrasikan kebijakan tersebut dalam berbagai program sektoral.1 Banyak sekali hambatan yang masih terjadi dalam mengimplementasikan pembangunan berwawasan kependudukan.
Mengapa selama ini Indonesia kurang serius dalam menangani pembangunan berwawasan kependudukan?. Hal ini tidak lain karena keinginan pemerintah untuk mempertahankan laju pertumbuhan ekonomi yang harus senantiasa tinggi. Pertumbuhan ekonomi menjadi satu-satunya ukuran keberhasilan pemabangunan nasional. Walaupun Indonesia memiliki wawasan trilogi pembangunan, yaitu pertumbuhan, pemerataan, dan stabilitas, namun pada kenyataannya pertumbuhan senantiasa mendominasi strategi pembangunan nasional.
Strategi pembangunan yang bertumpu pada pertumbuhan tanpa melihat potensi penduduk yang ada nyatanya tidaklah berlangsung secara berkesinambungan (sustained). Jika dikatkan dengan krisis ekonomi dewasa ini, terjadinya krisis tersebut tidak lepas dari kebijakan ekonomi yang kurang mengindahkan dimensi kependudukan. Strategi ekonomi makro yang tidak dilandasi pada situasi/kondisi ataupun potensi kependudukan yang ada menyebabkan pembangunan ekonomi tersebut menjadi sangat rentan terhadap perubahan. Belum terjadi strategi pembangunan yang berorientasi serius pada aspek kependudukan selama ini.
Sebagaimana dikemukan terdahulu, keterkaitan antara kependudukan dan pembangunan harus dilihat dalam 2 dimensi, yaitu: (1) bagaimana membangun penduduk agar menjadi sumber daya manusia yang andal atau dikenal dengan istilah pembangunan kependudukan, dan (2) begaimana mengintegrasikan isu kependudukan kedalam ‘mainstream’ pembangunan nasional atau mengembangkan pembangunan berwawasan kependudukan.
Keterkaitan tersebut juga harus dilihat pada tataran kebijakan dan imlementasi. Pada tataran kebijakan, analisa diarahkan untuk meliahat sampai seberapa jauh ‘political will’ pemerintah untuk mengintegrasikan isu-isu kependudukan dalam kebijakan pembangunan nasional. Selanjutnya pada tataran implementasi, dapat dilihat seberapa jauh kebijakan tersebut diimplementasikan dalam program-program sektoral.2
Pemerintah sejak awal kemerdekaan sudah mulai memperhatikan aspek kependudukan dalam perencanaan pembangunan. Tentu saja implementasi dari perhatian ini disesuaikan dengan kondisi pada masa itu. Program pemindahan penduduk dari daerah padat ke daerah kurang padat misalnya sudah mulai bahkan sejak sebelum kemerdekaan. Program transmigrasi yang pertama kali dilakukan oleh Pemerintah Indonesia tercatat pada tahun 1951.
Program transmigrasi pada awalnya lebih dilihat oleh pemerintah sebagai upaya untuk mengatasi kekurangan tenaga kerja pada daerah-daerah yang jarang penduduknya. Dalam terminologi ilmu kependudukan model seperti ini sering disebut sebagai kebijakan perpindahan penduduk yang langsung (direct policy). Karena jumlah penduduk yang dipindahkan makin lama makin banyak maka pemerintah kemudian memandang perlu mengembangkan suatu institusi yang khusus menangani masalah pemindahan penduduk tersebut. Kemudian munculah kelembagaan transmigrasi. Kelembagaan yang mengurusi transmigrasi ini mengalami beberapa kali perubahan sesuai dengan konsep transmigrasi yang dianut pada kurun waktu tertentu. Pada awalnya program transmigrasi dikaitkan dengan isu ketenagakerjaan dan upaya membina para transmigran agar menjadi pelaku-pelaku ekonomi didaerah tujuan dan oleh karenanya dibentuklah kelembagaan Transkopemada dan kemudian menjadi Nakertranskop. Namun sebagaimana dikemukakan terdahulu karena jumlah penduduk/keluarga yang perlu dipindahkan makin lama makin besar, maka dirasakan perlu adanya kelembagaan khusus yang menangani masalah pemindahan ini sehingga munculah institusi Departemen Transmigrasi yang sebelumnya berbentuk Kantor Menteri Muda Transmigrasi.
Dalam perjalanannya, program transmigrasi banyak menimbulkan pro dan kontra. Tidak sedikit analisis memperlihatkan bahwa program ini tidak efisien dan kurang berdampak positif pada peningkatan kesejahteraan penduduk. Banyak pihak menyimpulkan bahwa program pengarahan penyebaran penduduk lebih baik dilakukan secara tidak langsung (indirect) melalui pengaturan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi daripada mengembangkan kebijakan langsung (direct). Di dalam institusi transmigrasi sendiri berkembang kerangka pikir bagaimana mengkaitkan program ini dengan pembangunan daerah. Karena itulah institusi transmigrasi kembali dikaitkan dengan pembangunan ketenagakerjaan.
Disamping aspek penyebaran penduduk, pemerintah sejak awal Orde Baru mulai memperhatikan aspek pertumbuhan penduduk. Jika pada masa sebelumnya pemerintah beranggapan bahwa jumlah penduduk yang besar justru berdampak positif pada pembangunan bangsa, maka pemerintah Orde Baru melihat bahwa dengan kondisi kualitas yang rendah jumlah penduduk yang besar justru menjadi beban pembangunan dan karenanya harus dikendalikan. Karena itulah pemerintah kemudian mengembangkan institusi lembaga keluarga berencana nasional (LKBN) dan kemudaian menjadi Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Perhatian terhadap aspek pengendalian pertumbuhan penduduk secara konsisten terus diberikan sampai saat ini.
Dari uraian di atas pemerintah secara konsisten telah berupaya membangun penduduk agar menjadi sumber daya manusia atau pelaku pembangunan yang andal. Secara konsisten pemerintah berupaya untuk mengendalikan pertumbuhan penduduk dan mengarahkan persebaran penduduk.
Dimensi kedua dari keterkaitan antar kependudukan dan pembangunan mulai mendapatkan perhatian sejak kabinet pembangunan IV (1988). Berbagai analisa dan pemikiran dari mereka yang banyak menggeluti studi pembangunan mendorong pemerintah untuk mulai memperhatikan dimensi kependudukan dalam arti yang lebih luas (tidak hanya pembangunan kependudukan itu sendiri) kedalam manistream pemabngunan nasional. Pada kabinet pembangunan IV tersebut mulai dibentuk institusi kependudukan yang tugas dan fungsinya antara lain mengemabngkan kebijakan kependudukan dan mengintegrasikan kebijakan tersebut kedalam kebijakan pemabngunan nasional. Oleh karena bidang kependudukan bersifat lintas sektor maka bentuk institusi yang dirasakan sangat tepat utuk itu adalah Menteri Negara. Jika dilihat dalam perspektif kilas balik maka format Menteri Negara nampaknya memang merupakan format yang paling tepat untuk bidang kependudukan.
Pada masa itu, institusi Menteri Negara yang membidangi kependudukan (Kantor Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan hidup) mengembangkan format pembangunan kependudukan di Indonesia melalui berbagai kebijakan serta berupaya merangkul berbagai pihak untuk menyebarluaskan konsep pembangunan berwawasan kependudukan. Pada waktu itu dikemabngkan segitiga “Emil Salim” yaitu Kantor Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup-Pusat Studi Kependudukan-pemerintah Daerah (BKLH). Kantor Menteri Negara KLH lebih berfungsi sebagai pengembang kebijakan makro didukung oleh Lembaga Universitas (PSK) untuk kemudian diterjemahkan kedalam program oleh Pemerintah Daerah (BKLH).
Format institusi kemudia mengalami perubahan pada kabinet pemabngunan VI (1993-1998) dimana kependudukan kemudian bergabung dengan salah satu institusi implementasi pembangunan kependudukan yaitu BKKBN. Disini mulai timbul keracuan dimana kebijakan kependudukan yang bersifat lintas sktor yang dihasilkan oleh kantor Menteri Negara Kependudukan seringkali kemudian langsung diimplementasikan oleh BKKBN. Pada masa itu BKKBN yang pada awalnya berperan sebagai institusi pengendalian pertumbuhan penduduk dan peningkatan kesejahteraan keluarga mulai masuk dalam bidang persebaran penduduk (ingat program Banggasukadesa).
Dalam kabinet reformasi dibawah pimpinan Presiden KH. Abdurrahman Wahid institusi kependudukan kemudian sempat digabung dengan transmigrasi (Meneg. Transkep) dan malah untuk beberapa waktu muncul sebagai suatu badan yang bersifat implementasi (Baknas). Penggabungan institusi kependudukan dengan institusi implementasi dan bahkan membentuk kependudukan sebagai institusi implementasi sebenarnya mempersempit arti kependudukan itu sendiri. Pada Kabinet Gotong Royong saat ini institusi kependudukan malah tidak mendapat tempat sama sekali, malah kelembagaannya dihapuskan. Tanpa menyadari bahwa Indonesia merupakan negara keempat dengan jumlah penduduk terbesar di Dunia, serta berpeluang menjadi tuan rumah Konperensi Kependudukan se Dunia pada tahun 2004 (Cairo + 10).
Krisis ekonomi saat ini memberi pelajaran bahwa pembangunan yang mengejar pertumbuhan dan dilakukan tanpa melihat kondidi dan potensi penduduk, tidak akan bersifat berkesinambungan. Pada masa dan pasca krisis ekonomi, perhatian terhadap masalah kependudukan harus tetap dilakukan, terutama menyangkut upaya mengembangkan pembangunan berwawasan kependudukan (people-centered-development). Ketidak pedulian terhadap isu pembangunan berwawasan kependudukan akan menyebabkan Indonesia kembali menghadapi situasi krisis yang sama pada beberapa tahun mendatang. Justru perkembangan ini perlu diwaspadai, bahkan harus dihindarkan semampu mungkin.
Pembangunan kependudukan (pembangunan sumber daya manusia) dan pemabngunan berwawasan kependudukan harus tetap terus dilanjutkan dan bahkan ditingkatkan integrasinya kedalam berbagai sektor pembangunan terutama yang berkaitan dengan sektor ekonomi. Jika selam ini kependudukan lebih dititik beratkan pada sektor sosial dalam kerangka pembangunan nasional, saat ini perlu dipikirkan untuk mengintegrasikan pembangunan kependudukan kedalam sektor EKUIN.
Oleh karena itu kewenangan pembangunan kependudukan seperti pengendalian pertumbuhan penduduk, pengarahan dan persebaran mobilitas penduduk serta peningkatan kualitas penduduk dan didukung dengan sistem administrasi dan informasi kependudukan yang andal harus tetap dipertahankan. Dalam era otonomi, pemerintah pusat dan daerah harus tetap memperhatikan isu-isu diatas. Oleh karenanya, lembaga yang khusus menangani kebijakan kependudukan harus tetap ada. Terutama pada Pemerintah Pusat.
Dalam hal pembangunan kependudukan, penetapan kewenangan perlu diikuti dengan kelembagaan operasional yang disesuaikan dengan kondisi daerah masing-masing. Dinas kpendudukan yang menangani masalah administrasi kependudukan merupakan salah satunya. Demikian pula dapat saja dibentuk Dinas Keluarga Berencana yang khusus menangani masalah pengendalian pertumbuhan penduduk. Namun sekali lagi bentuk kelembagaan tersebut perlu disesuaikan dengan kondisi dan kemampuan daerah masing-masing.
Disamping kelembagaan yang sifatnya operasional dalam hal pembangunan kependudukan, perlu pula dikembangkan kelembagaan yang bersifat kebijakan. Kelembagaan ini dimaksudkan untuk mengembangkan serta memantau pelaksanaan kebijakan makro kependudukan serta bagaimana mengintegrasikan kebijakan tersebut kedalam berbagai sektor yang ada. Pada tingkat daerah kelembagaan ini dapat saja berupa Biro Kependudukan sebagaimana pernah ada pada Kabinet Pembangunan IV sampai dengan VI dulu. Secara garis besar kelembagaan tersebut diharapkan berfungsi untuk:
1. Memberikan masukan kepada pemerintah pusat dalam menyusun perencanaan makro mengenai strategi pengembangan sumber daya manusia (kependudukan) di daerahnya. Pemerintah daerah dengan berbagai jajarannya merupakan institusi yang sangat mengetahui masalah yang dihadapi oleh daerah masing-masing;
2. Membuat perencanaan yang baik untuk daerah masing-masing (yang akan dituangkan dalam Repelita Daerah dan APBD) mengenai startegi peningkatan sumber daya manusia berdasarkan paada analisa SWOT. Ini diperlukan untuk mengetahui kondisi, kekuatan serta kelemahan yang ada atau yang dimiliki;
3. Mengimplementasikan perencanaan makro yang telah disusun secara nasional dengan melakukan modifikasi sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan lokal;
4. Menggalang hubungan dan koordinasi yang baik dengan pihak swasta dan masyarakat dalam upaya peningkatan sumber daya manusia. Dengan keterbatasan dana yang dimiliki oleh pemerintah, maka partisipasi swasta dan masyarakat mutlak diperlukan untuk melanjutkan proses pembangunan;
5. Mengembangkan sistem pemantauan, pengawasan dan evaluasi program peningkatan sumber daya manusia yang sitematis dan terencana. Perlu dicatat disini bahwa sistem pemantauan dan evaluasi dalam satu siklus organisasi merupakan hal yang sering dilupakan, padahal sangat penting. Tanpa adanya pemantauan, pengawasan dan evaluasi yang baik, kemajuan, kemunduran atau penyimpangan program sukar untuk diketahui. Disamping itu tanpa adanya evaluasi yang baik, perencanaan berikutnya akan sulit untuk dirumuskan dengan baik.

Setelah selesai dengan pembangunan nasional atas dasar kpendudukan, maka langkah selanjutnya dalam pengendalian penduduk adalah tercukupinya pangan suatu penduduk yang mendiami suatu wilayah tertentu.
Persoalan persaingan antara pertumbuhan penduduk dan produksi pangan elah menjadi perhatian para cendekiawan sejak dua abad lalu. Hal ini merupakan agenda yang sangat serius karena menentukan keberlangsungan hidup umat manusia.
Thomas Robert Malthus tahun 1798 telah mempredikasi bahwa dunia akan menghadapi ancaman karena ketidakmampuan mengimbangi pertumbuhan penduduk dengan penyediaan pangan memadai. Teori Malthus ringkasnya menyatakan peningkatan produksi pangan mengikuti deret hitung dan pertumbuhan penduduk mengikuti deret ukur sehingga manusia pada masa depan akan mengalami ancaman kekurangan pangan.
Setelah sekian lama berlalu dengan berbagai dinamika inovasi teknologi pangan dan pengendalian penduduk, ilmuwan terkemuka Jeffrey D. Sach (Scientific American, 2008) masih mengajukan pertanyaan besar apakah benar kita telah mengalahkan Teori Malthus? Waktu dua abad pun belum bisa meyakinkan kita akan jawaban tersebut.
Jumlah penduduk dunia bertambah terus menerus. US Census Bureau memperkirakan tahun 2010 penduduk di Asia Pasific saja mencapai 4 milyar dimana India dan China berkontribusi lebih dari 2 milyar. Indonesia juga berkontribusi besar dengan jumlah penduduk yang mendekati seperempat milyar jiwa.
Penduduk Indonesia tumbuh pesat, tahun 1900 jumlahnya masih sekitar 40 juta. Peningkatan penduduk berdasar periode yaitu 120 juta (1970), 147 juta (1980), 179 juta (1990) dan mencapai 206 juta (2000). Angka terbaru penduduk telah mencapai 225 juta (2007). Dalam 40 tahun tekahir, penduduk telah bertambah lebih dari 100 juta jiwa, sebuah peningkatan yang fantastis (BPS, 2009).
Indonesia dipandang cukup sukses dalam implementasi program keluarga berencana (KB) yang diintroduksi sejak 1968. Secara nasional, tingkat pertumbuhan penduduk dapat ditekan dari 2,31 persen pada tahun 1970-an menjadi 1,49 persen tahun 2000-an.
Angka pertumbuhan penduduk yang telah dicapai tersebut dipandang masih belum cukup jika dikaitkan dengan total penduduk nasional. Selain itu, pasca reformasi dan implementasi otonomi dearah, kebijakan program KB berada dalam otoritas daerah dimana pada banyak kasus cenderung mengalami stagnasi bahkan menurun karena rendahnya concern birokrasi dan legislasi lokal pada masalah kependudukan. Jika hal ini terabaikan, maka bukan tidak mungkin gejala ledakan penduduk akan terjadi dan berdampak sosial ekonomi yang lebih rumit dan membahayakan.
Menggunakan pendekatan pertumbuhan penduduk sepuluh tahun terakhir (1990-2000) sebesar 1,49 persen (BPS, 2009), dan data terakhir kependudukan tahun 2007 sebesar 225 juta jiwa, secara sederhana dapat dikalkulasi bahwa setiap tahun ada penambahan penduduk 3,35 juta jiwa.
Besarnya jumlah penduduk terkait langsung dengan penyediaan pangan. Konsumsi pangan utama sumber karbohidrat adalah beras. Sebagaimana dilaporkan Pasandaran, sejak tahun 1970-1990 konsumsi beras per kapita per tahun meningkat nyata yaitu 109 kg (1970), 122 kg (1980) menjadi 149 kg (1990). Meskipun setelah tahun 1990, komsumsi beras sedikit menurun namun dipandang masih cukup besar yaitu 114 kg/orang/th pada tahun 2000 (BPS). Rerata konsumsi per kapita ini merupakan yang terbesar di dunia.
Ketidakmampuan menyediakan pangan pokok yang ditandai dengan besarnya impor beras beberapa saat lalu menjadi pertanda yang serius bagi kita agar memiliki perhatian pada persoalan kependudukan dan penyediaan pangan.
Pertumbuhan penduduk yang pesat menuntut pemenuhan pangan yang sangat besar. US Census Bureau mencatat kebutuhan pangan biji-bijian (beras dan jagung) di Asia akan meningkat pesat dari 344 juta ton tahun 1997 menjadi 557 juta ton tahun 2020 dimana kontribusi China dan India sebesar 26 dan 12 persen.
Persoalan krisis pangan dunia yang ditandai kelangkaan pangan dan melonjaknya harga pangan di pasar internasional tahun 2008, salah satunya disebabkan karena membumbungnya permintaan pangan oleh kekuatan ekonomi baru China dan India dengan penduduk masing-masing 1 milyar jiwa.
Dalam konteks Indonesia, produksi pangan yang mampu menjamin kebutuhan penduduk merupakan persoalan yang serius. Meskipun selama 2 tahun terakhir dilaporkan swasembada beras dapat dicapai kembali namun untuk jangka panjang masih menjadi pertanyaan besar.
Salah satu solusi dalam peningkatan produksi pangan adalah peningkatan areal dan produktifitas. Meskipun hal tersebut telah dilakukan dengan berbagai strategi namun data menunjukkan masih jauh dari cukup. Selama 5 tahun terakhir (2004-2008), areal panen padi hanya meningkat 0,47 juta ha dengan komposisi 11,92 juta ha tahun 2004 menjadi 12,39 juta ha tahun 2008. Dari segi produktifitas mengalami peningkatan 0,32 ton/ha dengan komposisi 4,54 ton/ha tahun 2004 dan 4,86 ton/ha tahun 2008.
Dengan prediksi jumlah penduduk 300 juta tahun 2015, kebutuhan beras akan membacapi 80-90 ton/th. Menggunakan asumsi luas panen yang tidak akan banyak berubah dari angka 12 juta ha/th, maka solusinya pada tuntutan produktifitas hingga 10 ton/ha.
Hal tersebut hampir dipastikan sebuah mission impossible. Sejarah produksi beras dunia mencatat bahwa negara yang memiliki sejarah dan tradisi produksi beras paling panjang dan teknologi paling hebat seperti Jepang, Taiwan, Korea dan China hanya mampu memproduksi beras di lahan petani secara stabil dalam skala lapangan paling tinggi 7 ton/ha.
Meskipun berbagai inovasi telah diciptakan, perangkap Malthus masih tetap menghantui kita. Kemampuan kita secara terus menerus menyediakan pangan yang melampaui pertumbuhan penduduk akan terus diuji sepanjang waktu.
Program pengendalian penduduk diikuti program pendukung seperti layanan sosial, pendidikan dan kesehatan menjadi prasyarat dan prioritas. Pemerintah pusat dan daerah harus saling bersinergi dan juga membangun partnership dengan kalangan swasta dan korporasi terkait dengan hal ini.
Penciptaan lahan baru perlu didorong terutama untuk daerah yang layak dan potensial. Program ini tidak bisa sepenuhnya diharapkan karena kendala sosial, teknis dan biaya. Solusi lainnya adalah mengoptimalkan pemanfaatan lahan kering. World Bank (2003) mendata lahan kering di Indonesia sebesar sekitar 24 juta ha. Lahan tersebut sangat potensial untuk program diversifikasi pangan dan diversifikasi produksi pertanian dengan tanaman kehutanan, peternakan dan perkebunan.
Diversifikasi pangan menjadi salah satu kata kunci. Bahan pangan non-padi yang bisa diproduksi dari lahan kering non-sawah sangat potensial untuk dikembangkan dan dikampanyekan terus menerus kepada publik.
Penelitian, pengkajian dan penyebarluasan melalui penyuluhan akan teknologi produksi baru seperti benih yang memiliki produktivitas tinggi, tahan terhadap kekurangan air dan goncangan cuaca ekstrim mutlak diupayakan. Program pengendalian alih fungsi lahan pertanian utamanya sawah sangat mendesak dilakukan. Beberapa laporan mengindikasikan bahwa selama 20 tahun terakhir, kita telah kehilangan 1 juta ha sawah subur di Jawa karena alih fungsi lahan.

Komentar :

ada 0 komentar ke “PENGENDALIAN PERUBAHAN PENDUDUK”

Posting Komentar

Web Counter
Web Counter Counter
 
AVENGED SEVENFOLD
AVENGED SEVENFOLD
AVENGED SEVENFOLD
This Blog is proudly powered by Blogger.com | Template by Angga Leo Putra